Jakarta, CNBC Indonesia – Pemerintah Indonesia punya jurus baru menekan ketergantungan impor Bahan Bakar Minyak (BBM). Caranya, mempercepat pengembangan produksi bioetanol dari tebu yang ternyata bisa digunakan sebagai campuran BBM jenis bensin.
Untuk mendorong itu, pemerintah pun sudah menelurkan aturan berupa Peraturan Presiden Nomor 40 Tahun 2023 tentang Percepatan Swasembada Gula Nasional dan Penyediaan Bioetanol Sebagai Bahan Bakar Nabati (Biofuel). Dengan ini, pemerintah berharap dapat meningkatkan luasan lahan tebu, produktivitas, dan kualitas tebu.
Direktur Bioenergi EBTKE Kementerian ESDM, Edi Wibowo, menyampaikan aturan tersebut juga mencakup diversifikasi tanaman penghasil bioetanol, seperti padi, jagung, singkong, dan sorgum.
Saat ini, produksi bioetanol di Indonesia baru mencapai sekitar 40 ribu kiloliter (KL) per tahun. Target pemerintah untuk tahun 2030 adalah mencapai produksi sebanyak 1,2 juta KL, yang diharapkan dapat mengurangi impor BBM sebesar 60%, khususnya pada jenis bensin yang mencapai 35,8 juta KL pada tahun 2022.
Salah satu aspek yang dapat ditingkatkan untuk memaksimalkan tebu yang dihasilkan yakni melalui produktivitas dari luas areal lahan. Data Asosiasi Petani Tebu Rakyat Indonesia (APTRI) menunjukkan penurunan produktivitas pada 2023 menjadi 70,7 ton per hektare tebu. Bahkan, level saat ini jauh lebih rendah dibanding level tertingginya pada 2010 yang mencapai 81,8 per ha.
Semakin efisien produksi dari sisi hulu, tebu yang dihasilkan untuk diambil molase-nya akan lebih besar, sehingga pasokan bioetanol pun dapat meningkat.
Soemitro Samadikoen, Ketua Umum Asosiasi Petani Tebu Rakyat Indonesia (APTRI), menyebut bahwa pemerintah telah menyiapkan 700 ribu hektare lahan untuk budidaya tebu hingga tahun 2028. Meskipun, tantangan dalam merealisasikan target ini cukup kompleks, termasuk proses panjang mulai dari penyiapan benih hingga pembangunan pabrik gula dan pengolahan bioetanol.
Edi Wibowo juga menekankan pentingnya diversifikasi bahan baku bioetanol dengan melibatkan tanaman lain seperti sorgum, singkong, dan jagung. Namun, pembangunan pabrik gula menjadi kendala, sebab minimal satu pabrik harus dibangun untuk setiap 20 ribu hektare lahan tebu.
Selain itu, pemerintah optimistis bahwa penggunaan bioetanol sebagai campuran BBM jenis bensin dapat mengurangi impor BBM sebesar 22 juta KL pada 2022. Kebijakan mandatori biodiesel juga diharapkan dapat diterapkan pada campuran bioetanol, yang akan mendukung kemandirian energi nasional.
Data Handbook of Energy & Economic Statistics of Indonesia 2022 juga menunjukkan impor produk minyak Indonesia pada 2022 menyentuh level tertingginya sejumlah 27,86 juta KL dalam periode 2019-2022. Keberadaan bioetanol diharapkan tidak hanya mengurangi penggunaan energi fosil, tetapi juga mengurangi impor yang dapat menyebabkan defisit.
Dewan Energi Nasional (DEN) mengusulkan pemberian insentif untuk mendukung pengembangan bioetanol di dalam negeri. Beberapa pekerjaan rumah, seperti pungutan bea cukai untuk etanol fuel grade, masih perlu dituntaskan untuk meningkatkan kompetitivitas bioetanol sebagai campuran BBM.
Pengembangan bioetanol di Indonesia juga melibatkan tanaman selain tebu, seperti sorgum, yang tengah diuji coba di Nusa Tenggara Timur. Edi Wibowo berharap bahwa hasil panen sorgum ini dapat membantu program bioetanol di dalam negeri.
Kementerian ESDM juga mempertimbangkan opsi penggunaan molase atau tetes tebu sebagai bahan baku bioetanol. Soemitro Samadikoen menyarankan untuk mengoptimalkan pemanfaatan tetes tebu terlebih dahulu sebelum memanfaatkan tebu langsung sebagai bahan baku.
Indonesia memiliki ‘harta karun’ berupa tanaman lain, seperti sorgum, jagung, dan singkong, yang dapat diolah menjadi bioetanol. Pemerintah saat ini fokus menggencarkan pengembangan bioetanol sebagai langkah strategis untuk mengurangi ketergantungan pada impor BBM.
Direktur Bioenergi EBTKE Kementerian ESDM, Edi Wibowo, menyebut bahwa diversifikasi bahan baku bioetanol menjadi perhatian utama guna memastikan ketahanan energi nasional.
Meskipun produksi bioetanol baru menyumbang 2% dalam bauran energi baru dan terbarukan (EBT), pemerintah terus berupaya meningkatkan kontribusinya. Program pencampuran bioetanol dalam BBM jenis bensin dijadwalkan mencapai 10% (E10) pada tahun 2029 atau 2030. Namun, tantangan utama yang masih dihadapi adalah pasokan bahan baku bioetanol.
Edi Wibowo menyebut bahwa potensi lahan untuk tanaman penghasil bioetanol mencapai 1,7 juta hektare, dan saat ini baru sekitar 500 ribu hektare yang dimanfaatkan. Oleh karena itu, pemerintah berupaya mengatasi berbagai kendala, termasuk masalah regulasi dan perizinan, untuk meningkatkan produksi bioetanol.
Hal tersebut selaras dengan data APTRI yang menunjukkan luas areal lahan tebu Indonesia pada 2023 sebesar 454 ribu ha. Jumlah tersebut memang menunjukkan adanya pertumbuhan dalam 4 tahun terakhir atau sejak 2019. Namun, level saat ini masih lebih rendah dibanding rekor tertinggi pada 2014 yang mencapai 477 ribu ha.
Persoalan ini menjadi tugas besar untuk mencapai indepensi energi berbasis EBT. Secara areal lahan perlu adanya penambahan 2,7 kali dari yang terdapat saat ini. Selain itu, tingkat efisiensi produksi dan optimalisasi tebu untuk bioetanol juga harus digencarkan.
Sebagai langkah awal, pemerintah telah mengeluarkan beberapa kebijakan, seperti Peraturan Menteri ESDM Nomor 12 Tahun 2022 tentang Penyediaan dan Pemanfaatan Bioetanol sebagai Bahan Bakar Nabati. Kebijakan tersebut mencakup peningkatan produksi bioetanol, diversifikasi bahan baku, dan insentif bagi pelaku usaha yang terlibat dalam industri bioetanol.
Upaya pemerintah dalam pengembangan bioetanol sebagai bahan bakar nabati juga didukung oleh sektor industri. Beberapa perusahaan gula besar di Indonesia, seperti PT Rajawali Nusantara Indonesia (RNI) dan PT Perkebunan Nusantara X (Persero), telah berinvestasi dalam pengembangan bioetanol sebagai diversifikasi bisnis mereka.
Pengembangan bioetanol diharapkan dapat memberikan dampak positif, antara lain mengurangi emisi gas rumah kaca, menciptakan lapangan kerja baru, dan mengurangi ketergantungan pada impor BBM. Namun, untuk mencapai target produksi yang ambisius, perlu kerjasama antara pemerintah, industri, dan petani dalam mengatasi berbagai tantangan yang ada. https://ikutisaja.com/